PENDIDIKAN KARAKTER
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Akhlak menurut
para ahli
Sementara dalam Kamus Bahasa
Indonesia kata ‘karakter’ diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dangan yang lain, dan watak.
Ki Hadjar Dewantara memandang karakter sebagai watak atau budi pekerti. Menurutnya
budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak
atau kemauan yang kemudian menimbulkan tenaga.
Karakter dimaknai sebagai cara
berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan sap
mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat di
anggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME,
diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
fikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatannorma agama, hokum, tata
kraa, budaya, adat istiadat, dan estetika.
Istilah karakter baru muncul pada
dunia pendidikan pada akhir abad ke-18, dan untuk pertama kalinya dicetus oleh
pedadogik jerman F.W. Forester.[1] Istilah
karakter digunakan secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada
akhir abad 18, terminologi karakter mengacu pada pendekatan idealis spiritualis
yang juga yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, dimana yang
menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai
motivator dan dominisator sejarah baik bagi individu maupun bagi perubahan
nasional. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti
to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di
atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian
berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola
perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution).
Sedangkan Istilah karakter secara
harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan
secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.[2]
Russel Williams menggambarkan
pengertian karakter itu seperti “otot”, yang mana otot-otot karakter ini akan
menjadi lemah apabila jarang di pakai ataupun dilatih, namun akan berbanding
terbalik apabila otot-otot ini sering dilatih, sperti para binaragawan yang
mempunyai otot-otot kekar, mengapa demikian? Ya tentu saja jawabannya karna
mereka sering melatih otot-otot mereka. Begitu juga dengan karakter iya akan
menjadi sebuah kebiasaan apabila orang yang mempunyai karakter ini melatihnya
(mempraktiknya) setiap kali perbuatannya sehari-hari.[3]
Andayani dan Majid dalam bukunya ada
beberapa pemaparan mengenai pengertian dari karakter menurut para ahli, bahwa
Bohlin dan Ryan mendefinisikan karakter mempunyai tiga unsur pokok yaitu,
melakukan kebaikan (doing the good), mengetahui kebaikan (knowing the good),
mencintai kebaikan (loving the good). Menurutnya pendidikan karakter, kebaikan
biasa dirangkum kedalam sifat-sifat baik.[4]
Jika kita dalami lebih mendalam lagi
kata karakter ini berasal dari bahasa latin yaitu “kharakter”, “kharassein”,
“kharax”, di dalam bahasa Inggris yaitu “charakter” dan dalam bahasa kita
sendiri yaitu bahasa Indonesia “karakter”, Yunani “character”, dari charassein
yang berarti membuat dalam, membuat tajam. Dalam kamus Poerwandarminta,
karakter diartikan sebagai watak, sifat-sifat kejiwaan, tabiat, budi pekerti
atau akhlak yang membedakan seseorang dengan yang lain. Nama dari jumlah
seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti kebiasaan, perilaku,
kesukaan, kemampuan, potensi, kecenderungan, ketidaksukaan, pola-pola pemikiran
dan nilai-nilai.
Kertajaya mengartikan karakter
adalah keunikan khusus atau ciri khas yang dipunyai seseorang atau benda secara
individu. Keunikan khusus tersebuat adalah asli dan mengakar pada pribadi
seseorang atau individu lainnya. Keunikan khusus ini ibaratkan mesin penggerak
bagi individu yang memilikinya untuk berujar, bersikap, merespon sesuatu
ataupun bertindak.
Parnwell dan Hornby mendefinisikan
karakter adalah reputasi atau nama, moral atau kualitas mental, kekuatan moral.[5]
Menurut Thomas Lichona (dalam Wibowo) karakter adalah sifat yang natural
seorang individu dalam menanggapi keadaan secara bermoral.[6]
Sedangkan menurut Suyanto (dalal
Wibowo) karakter yaitu cara berprilaku atau berpikir seorang individu dan
menjadi ciri khasnya untuk menjalankan hidup dan bekerja sama baik dalam ruang
lingkup negara, keluarga, atau masyarakat. [7] Imam
Al-Ghazali mendefinisikan karakter yaitu spotanitas manusia dalam melakukan
atau bersikap terhadap perbuatan yang telah melekat dalam diri manusia itu
sendiri sehingga ketika di melakukan sesuatu tanpan berpikir lagi.[8]
Thomas Lichona memaknai kata
karakter dengan “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally
good way.” Selanjutnya dia menambahkan, “Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”[9].
Menurut Majid dkk. Pendidikan
karakter mempunyai makna yaitu membentuk budi pekerti, watak dan kepribadian
dengan cara mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu.[10] Menurut
pandangan Ibnu Miskawaih karakter ada yang bersifat produktif dan ada juga yang
bersifat alamiah, artinya dari sebuah proses habitualisasi dan eksternalisasi,
yang terbentuk dari latihan dan kebiasaan, dan pada akhirnya menjadi karakter. [11]
Ilyas memaknai karakter dengan kata
akhlaq yang mempunyai arti tingkah laku, tabiat, budi perkerti, perangai.
Berakar dari kata khalaqa yang merarti menciptakan. Seakar dengan kata makhluq
(yang diciptakan), khalq (penciptaan), dan khaliq (pencipta).[12]
Imam Al-Ghazali juga memaknai
karakter dengan kata akhlak yang mempunyai arti suatu sikap atau perbuatan yang
gampang muncul, tanpa ada pertimbangan dan pemikiran lagi karna sikap tersebut
sudah menyatu dengan jiwa sang individu.[13]
Menurut Ibnu Maskawaih karakter atau
juga akhlak adalah keadaan jiwa untuk melakukan sesuatu perbuatan tanpa ada
perhitungan dan dipikir lagi sebelumnya.[14] Al-Jurjawi
mengartikan karakter (akhlak) itu ruang lingkupnya hanya sebatas kondisi
batiniah saja bukan kondisi lahiriah. Contohnya, orang yang memiliki karakter
yng dermawan bisa saja tidak membelajakan uangnya demi kemashlahatan dan
kebaikan, namun sebaliknya orang yang pelit bisa juga ia membelanjakan uangnya
dengan niat boros, sombong dan riya’.[15]
Menurut Samani dan Haryanto karakter
adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bertindak
maupun dalam bersikap.[16]
Kementerian Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa karakter merupakan watak,
tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir bersikap, dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak,
dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.[17]
Doni Koesoema mengungkapkan bahwa
karakter merupakan ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari seseorang
yang terbentuk dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan yang
dimaksud seperti keluarga, teman masa kecil atau teman sebaya dan juga
lingkungan dimana seseorang tersebut sering berinteraksi dengan orang lain. [18]
Thomas Lickona dalam Masnur Muslic
mendefinisikan seseorang yang berkarakter sebagai sifat alami seorang dalam
merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata
melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggungjawab, menghormati orang lain
dan karakter mulia lainnya. [19]
Menurut Mounir dalam Doni Koesoema
istilah karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas yaitu karakter
dapat dilihat sebagai dua hal. Dua hal tersebut yaitu pertama sebagai
sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu
saja, yang lebih kurang paksaan dalam diri kita (given). Kedua karakter juga
bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui dimana seseorang individu mampu
menguasai kondisi tersebut. [20]
Sofan Amri, dkk menjelaskan bahwa
karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara. Seorang yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan bertanggungjawab[21].
Furqon Hidayatullah menjelaskan
bahwa karakter merupakan kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau
budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong
dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. menurut Khan adalah
sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan
dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Sedangkan menurut Novak,
sebagaimana dikutip Lickona, karakter adalah campuran kompatibel dari seluruh
kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum
bijaksana, dan kumpulan orang-orang yang berakal sehat yang ada dalam sejarah[22].
Jack Corley dan Thomas Philip,
sebagaimana dikutip Muchlas Samani dan Hariyanto, mendefinisikan karakter
sebagai sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dam mempermudah
tindakan moral[23].
Menurut Tadkiroatun Musfiroh, karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk
tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan
perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang
yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia[24].
Suyanto, sebagaimana dikutip
Muslich, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara[25].
Jadi karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Menurut Thomas Lichona dalam skripsi
Mutawalia karakter adalah merupakan sifat almi seseorang dalam merespon situasi
secara bermoral. Sifat alami tersebut diimplementasikan dalam tindakan nyata
melalui tingkah laku yang jujur, baik, adil, bertanggung jawab, menghormati
orang lain, dan karakter baik lainnya. Pengertian yang dikemukakan oleh Lichona
ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.
Lebih jauh Lichona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter yang dirumuskan
dengan indah: loving, knowing and acting the good. Menurutnya
keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik,
mencintai dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter yang baik.[26]
Menurut Suyanto karakter adalah cara
berperilaku dan berpikir yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan kerja
sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau pun bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan
siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari perbuatan yang dibuatnya.[27]
karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan
kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika
pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat
diketahui pula bagaimana individu tersebut akanbersikap untuk kondisi-kondisi
tertentu. Istilah karakter juga dianggap sama dengan kepribadian atau ciri atau
karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seorang[28].
Karakter juga diartikan watak, yaitu
sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku atau
kepribadian.
M. Furqon Hidayatullah mengutip dari Rutland
yang mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa Latin yang
berarti "dipahat". Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit
dengan hati-hati dipahat atau pun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya
akan menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan
dari kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan
menyatakan nilai yang sebenarnya.[29]
Doni Koesoema memahami bahwa istilah
karakter, berasal dari bahasa Yunani “karasso", berarti cetak biru, format
dasar. Ia melihat ada dua makna interpretasi dari karakter, yaitu pertama,
sebagai kumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada
begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang
demikian dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sononya (given).Kedua,
karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seseorang
individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini
disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (wiled).
Karakter adalah sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok
orang. karakter juga bisa diartikan sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang
stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis.
Scerenco mendefinisikan karakter
sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentukdan membedakan ciri pribadi, ciri
etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok, atau bangsa. Robert
Marine mengambil pendekatan yang berbeda terhadap makna karakter, menurt dia
karakter adalah gabungan yang samar-samar antara sikap dan perilaku bawaan dan
kemampuan, yang membangun pribadi seseorang.
Memahami makna
pendidikan karakter tentunya berangkat dari pemahaman kita mengenai definisi
dari karakter itu sendiri. Menurut Thomas Lickona (dalam Wibowo, 2012: 32),
karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral.
Sifat alami tersebut dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku
yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia
lainnya. Menurut Suyanto (dalam Wibowo, 2012: 33) karakter adalah cara
berfikir, dan berperilaku yang menjadi cirri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 623), istilah karakter
berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain. Dalam definisi yang lain dijelaskan bahwa karakter
adalah sikap pribadi yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif
dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Memahami beberapa definisi
karakter di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sikap maupun
cara seseorang merespon segala stimulus dan permasalahan hidup disekitar mereka
baik melibatkan kemampuan kognitif maupun emosi mereka dan teraktualisasikan
dalam perilaku mereka baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat secara luas.
Maka tidak dapat dinafikan bahwa peranan karakter sangat dominan dalam
membentuk wajah suatu bangsa dan sangat menentukan kemajuan suatu negara. Memahami
betapa besar kontribusi karakter dalam mewarnai kehidupan suatu bangsa maka
tidak dapat dinafikan bahwa peran karakterpun memiliki andil besar dalam setiap
dimensi kehidupan suatu bangsa. Fenomena yang ada disegala penjuru dunia
menunjukkan bahwa bangsa yang memiliki karakter yang tangguh maka secara
beriringan mampu tampil sebagai bangsa yag maju dan sejahtera pembusukan moral
yang dimaksud oleh Arnold Toynbe sebagai salah satu kontributor utama dalam
kehancuran suatu bangsa dapat diidentifikasikan dengan lemahnya karakter bangsa
yang bersangkutan. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan karakter suatu bangsa
sangat menentukan kualitas dari pembangunan bangsa itu sendiri.
Karakter
tangguh yang dimiliki individu akan membuat individu tersebut mampu bertahan
dalam segala situasi kehidupan yang stabil sampai pada kondisi yang tersulit
sekalipun. Ia akan dapat menciptakan kehidupan yang kondusif dan bermakna baik
bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan di sekitarnya. Maka untuk itulah
diperlukan suatu usaha dalam rangka enumbuh kembangkan karakter yang positif
sejak dini melalui pendidikan karakter. Dimana pendidikan karakter oleh dapat
didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan
karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core
virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat (Saptono,
2011: 23).
a. Tujuan
Pendidikan Karakter
Socrates
berpendapat bahwa tujuan yang paling mendasar dari sebuah pendidikan adalah
untuk membentuk seseorang menjadi good smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah
SAW juga pernah mengajarkan bahwa beliau memiliki misi utama dalam mendidik
manusia untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).
Ribuan tahun setelah itu, konsep utama dari rumusan tujuan pendidikan tetap pada
wilayah serupa yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh
pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks, dan Goble
seakan menjadi penyambung misi dari Rosulullah Muhammad saw dan Socrates bahwa
moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia
pendidikan. Begitu juga Marthin Luther King yang menyetujui pemikiran tersebut dengan
mengatakan “Intelegence plus character that is the true aim of education”
(dalam Majid, 2011: 30). Penjabaran dari para tokoh-tokoh dunia yang
berpengaruh pada dunia pendidikan diatas memberi gambaran bahwa secara universal
pendidikan karakter merupakan aspek yang sangat substansial yang disepakati
sebagai nilai universal dalam tujuan pendidikan yang berlaku dimanapun,
kapanpun dan oleh pemikiran siapapun. Tujuan mendasar yang diharapkan adalah
membentuk Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... kualitas
manusia yang yang lebih baik dalam sikap, pengetahuan, ketrampilan dan semua
perilakunya.
b. Karakter
yang Baik
Karakter
seseorang akan tampak pada kebiasaannya seharihari.Kecenderungan yang muncul adalah
selalu memikirkan hal yang baik (habits of mind), menginginkan hal yang baik
(habits of heart), dan melakukan hal yang baik (habits of action). Maka jika
kebaikan merupakan subtansi dari karakter yang ideal, maka makna kebaikan adalah
kecenderungan untuk melakukan tindakan yang baik menurut sudut pandang moral
universal. Baik, dapat bersifat objektif, yakni baik secara kualitas diakui dan
dijunjung tinggi oleh agama maupun masyarakat, dan disisi lain baik juga dapat
bersifat intrinsik, yakni baik yang secara kualitas lahir dari hati nurani
manusia yang beradab. Bertolak dari criteria objektif dan intrinsik tersebut
maka melahirkan dua kebajikan fundamental yang dibutuhkan untuk membangun
sebuah karakter yang ideal yakni rasa hormat (respect) dan tanggung jawab
(responsibility). Selain mengajarkan dua kebajikan fundamental tersebut, terdapat
sepuluh kebajikan esensial yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang baik,
meliputi: Kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), ketabahan (fortitude), pengendalian
diri (self control), kasih (love), sikap positif (positive attitude), kerja
keras (hard work), integritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan
kerendahan hati (humility) (Saptono, 2011: 20-21).
c. Pilar
Pendidikan Karakter
William
Kilpatric menyebutkan bahwa salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang
berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral
knowing) ialah karena ia tidk terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut (moral
doing). Maka berangkat dari pemikiran tersebut, keberhasilan pendidikan karakter
sangat ditentukan oleh ada tidaknya knowing, lovingdan doing (acting) dalam
proses penyelenggaraan pendidikan karakter (Majid, 2011: 31).
1) Moral
knowing
Tahapan ini
merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter, dimana dalam tahapan ini
bertujuan memberikan penguasaan pengetahuan pada siswa tentang nilai-nilai.
Dalam aspek ini, terdapat enam unsure yang harus diajarkan kepada siswa untuk
mengisi ranah pengetahuan (kognitif) bagi mereka, yakni 1) kesadaran moral
(moral awareness), 2) pengetahuan tentang nilai-nilai moral (moral knowing
values), 3) penentuan sudut pandang (moral reasoning), 4) Keberanian menentukan
sikap (decision making), 5) pengenalan diri (self knowledge) Karena moral
knowing merupakan pembentukan karakter dalam komponen kognitif, maka peran akal
tidak dapat diabaikan. Untuk itulah maka Allah dalam firmanNya menegaskan
berkalikali tentang potensi akal tersebut, dimana akal inilah yang menjadi unsur
pembeda manusia denga makhluk Alah yang lain, dan akal juga menjadi
karakteristik fitrah manusia serta kontributor terbesar yang memposisikan
manusia sebagai makhluk allah yang paling mulia. Rosulullah saw, sebagai model
terbaik dari pendidikan karakter merupakan salah satu figur yang sempurna
karena kecerdasan akalnya. Sifat fathanah Rosulullah inilah yang dapat menjadi
rujukan dalam pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam.
Dengan merujuk pada keteladanan kecerdasan Rosulullah saw tersebut, maka
kecerdasan akal saja tentu tidak cukup, namun juga harus dilengkapi dengan
sikap bijaksana dan arif dalam berpikir dan bertindak. Implementasinya adalah
sejauh mana individu dapat mengambil hikmah/pelajaran di balik setiap peristiwa
sebagai bentuk pengalaman yang berharga bagi dirinya untuk meningkatkan
kualitas hidupnya.
2) Moral
loving atau moral feeling
Tahapan ini
merupakan penguatan aspek emosi (afektif) bagi siswa agar mereka tumbuh menjadi
individu yang berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentukbentuk sikap
yang harus dirasakan dan diyakini oleh siswa yaitu kesadaran akan jati diri yang
meliputi: 1) percaya diri (self esteem), 2) kepekaan terhadap derita orang lain
(empathy), 3) cinta kebenaran (loving the good), 4) pengendalian diri (self
control), 5) kerendahan hati (humility). (Andayani, 2011:34). Dari kelima aspek
yang terlibat dalam dimanika emosi siswa akan terakumulasi menjadi sikap yang
pada akhirnya menjadi pijakan dari munculnya suatu perilaku dalam merespon segala
stimulus yang hadir dalam kehidupan siswa. Intervensi Teori Perkembangan Moral
Lawrence Kohlberg.... Menurut Hernowo (2003: 19) bersikap merupakan keberanian
untuk memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan untuk ditindaklanjuti
dengan mempertahankan pilihan tersebut lewat argumentasi yang bertanggung jawab,
kukuh dan bernalar. Sebagai konsekwensi dari sikap seseorang maka akan
melahirkan kecerdasan rohaniah yang menjadi kekuatan rohaniah. Maka senada
dengan pendapat ini, Tasmara (2001: 222) menjelaskan bahwa kecerdasan yang
termanifestasikan dalam bentuk individu yang amanah, akan terpancar sebagai
bentuk nilai yang berupa: rasa tanggung jawab sebagai manifestasi taqwa,
kecanduan kepentingan (sense of urgency) dimana seseorang merasa untuk dapat
melaksanakan tugasnya sebaikbaiknya, amanah yang terwujud dalam bentuk tidak
asaja dipercaya tapi juga mempercayai, serta hormat menghormati. Sikap tidak
dapat diajarkan secara teoritis. Transfer sikap dapat dilakukan secara efektif
melalui metode (uswah) teladan dari seorang guru pada murid atau orang tua pada
anak. Maka sangat tidak mengherankan bila dilingkungan sekitar kita banyak
mengalami kemerosotan moral yang tentunya berindikasi sikap di dalamnya dikarenakan
minimnya teladan yang baik yang seharusnya menjadi sumber dalam pembentukan
sikap yang positif bagi perkembangan karakter anak. Selain itu, banyak orang
tua maupun guru yang kurang memahami tentang kebutuhan anak untuk
mengekspresikan pendapatnya sebagai langkah awal dalam pembentukan sikap mereka.
Padahal, keterbukaan anak untuk menyampaikan pendapat, keyakinan dan dorongan,
sebagai sebuah proses yang terjadi pada diri mereka, akan mengantisipasi pengaruh
potensi buruk dari suatu lingkungan melalui kemampuan anak dalam
mengidentifikasinya, mengendalikan dan menundukkan lingkungan buruk tersebut dengan
bimbingan guru maupun orang tua.
3) Moral doing
atau moral behaviour
Rosulullah
dalam sabdanya: “Engkau belum disebut sebagai orang yang beriman kecuali engkau
memcintai orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”. Makna yang
tersirat didalam hadits beliau adalah bagaimana kita harus berbuat baik
terhadap sesama. Maka dalam mengimplementasikan kebaikan yang menjadi tugas kita
tersebut mustahil akan dapat kita lakukan bila kita tidak dalam kebersamaan.
Untuk itulah maka manusia lahir sebagai makhluk sosial. Keberhasilan manusia
sebagai makhluk sosial dapat diukur dari sejauh mana keberdaan mereka dapat
meberi manfaat bahkan bermakna bagi orang lain. Kemanfaatan yang harus kita
sebar untuk sesama tidak akan bisa direalisasikan bila manusia tidak memiliki
potensi atau kemampuan dan ketrampilan. Hal inilah yang harus menjadi perhatiansemua
kalangan baik itu pendidik, orang tua maupun
lingkungan
agar proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada pembentukan kompetensi agar
siswa memperoleh outcome yang tidak hanya berkontribusi pada kehidupan dirinya
sendiri namun juga member manfaat bagi kebaikan atau kualitas hidup orang lain.
Bukan sebaliknya, menjadi beban dan tanggungan orang lain (Majid, 2011: 36).
2.
Perkembangan Moral
Menurut
Santrock perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan
dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan-perubahan
perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tatacara, kebiasaan,
adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial. Santrock juga
menjelaskan bahwa perkembangan moral di dalamnya menyangkut perkembangan proses
dalam berfikir, merasa, serta berperilaku yang sesuai dengan peraturan
(Santrock, 2008: 316). Menurut Havinghurts, moral bersumber dari adanya suatu
tata nilai. Tata nilai adalah suatu objek rohani atas suatu keadaan yang
diinginkan. Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat
melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan nilai (value) yang diinginkan itulah
yang disebut moral. Dengan demikian perkembangan moral individu sangat
berkaitan dengan perkembangan sosialnya, disamping pengaruh kuat dari perkembangan
kognitif, afektif dan konatifnya (Ahmadi, 2005:104). Bagi anak, perkembangan
moral mulanya dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan yang bersifat biologis,
namun untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman yang diperoleh dalam Intervensi
Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... lingkungan keluarganya yang tentunya
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku didalamnya. Oleh karenanya, dalam
perkembangan moral sangat dipengaruhi oleh peranan orangtua sebagai sosok yang paling
dekat dengan anak (terutama ibu) sebagai kontributor pola perkembangan moral
bagi anak seterusnya.
3. Kontribusi
Piaget Dalam Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Teori Kohlberg
tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan penyempurna atas
teori perkembangan kognitif Piaget. Perhatian tentang bagaimana anak-anak
berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dirintis oleh Piaget
pada tahun 1932 (dalam Santrock, 2008) melalui penelitianpenelitiannya yang
luas dan mendalam dengan menggunakan metode observasi dan wawancara pada
anak-anak berusia 4-12 tahun. Dalam penelitiannya, Piaget mengangkat
persoalan-persoalan moral seperti mencuri, berbohong, hukuman, dan keadilan.
Dari hasil penelitiannya, Piaget membagi tahap-tahap perkembangan moral berdasarkan
cara penalarannya, yaitu:
a. 4-7 tahun:
tahap moralitas heteronom; pada tahap ini cara berpikir anak tentang keadilan
dan peraturan bersifat obyektif dan mutlak (dalam Monks, Knoer, & Haditono,
2001), artinya tidak dapat diubah dan tidak dapat ditiadakan oleh kekuasaan manusia.
b. 7-10 tahun:
tahap transisi; anak menunjukkan sebagian sifat dari tahap moralitas heteronom,
dan sebagian sifat lain dari tahap moralitas autonom.
c. 10- dan
seterusnya: tahap moralitas autonom; anak menunjukkan kesadaran bahwa peraturan
dan hukum diciptakan oleh manusia, oleh karenanya dalam menilai suatu perbuatan,
anak-anak selain mempertimbangkan akibatakibat yang ditimbulkan oleh suatu
perbuatan, juga sekaligus mempertimbangkan maksud dan ikhtiar dari si pelaku. Secara
esensial temuan Piaget tentang penilaian moral dalam perkembangan kognitif
memiliki kecocokan dengan teori dua tahap. Anak yang lebih muda dari usia 10 atau
11 tahun memikirkan tentang dilemma moral dengan satu cara, sedangkan anak yang
usianya lebih tua akan berpikir dengan beragam cara. Anak yang lebih muda memandang
aturan sebagai sesuatu yang absolute dan baku. Bagi mereka aturan adalah produk
orang tua atau Tuhan yang harus dipatuhi dan tak ada satupun yang bisa
merubahnya. Namun pada anak yang lebih tua, mereka memahami aturan boleh
berubah asal disepakati semua pihak. Aturan bukanlah hal yang bersifat sakral
atau absolut tapi sebagai alat yang digunakan manusia secara kooperatif (Crain,
2007: 229). Kira-kira pada usia 10-11 tahun pemikiran moral anak mulai mengalami
pergeseran. Anak yang lebih muda memandang bahwa penilaian moral lebih
bergantung pada konsekwensi-konskwensi sedang pada yang lebih tua memreka
memandang sebagai manifestasi
dari niat atau
intense. Maka piaget mencontohkan kasus yang terjadi pada seorang anak kecil yang
memecahkan 15 cangkir saat membantu ibunya dan seorang anak kecil lain
memecahkan 1 cangkir saat ia sedang berusaha mencuri kue coklat, maka anak yang
lebih muda akan berpikir bahwa anak kecil pertama berbuat lebih buruk dari pada
anak kecil yang kedua. Sebab anak yang lebih muda akan lebih terfokus pada
jumlah cangkir yang dipecahkan (konsekwensi, dampak), sedangkan anak yang lebih
tua lebih menilai kesalahan lebih besar pada anak kecil yang kedua karena
kelompok tersebut lebih fokus pada motif atau niatan dari perbuatan tersebut. Teori
perkembangan moral yang dirintis Piaget ini kemudian dikembangkan oleh Kohlberg
yang membagi tahap-tahap perkembangan moral dari masa kanak-kanak sampai
dewasa. Perkembangan moral terus berkembang samapai usia 16 tahun. Karenanya
maka orang berasumsi bahwa masalah moral akan terus berkembang selama masa remaja.
Maka Kohlberg terus melakukan wawancara pada kelompok remaja sehingga dari
hasil penelitiannya menyempurnakan pentahapan yang diberikan oleh Piaget.
4. Tahap Perkembangan
Moral Menurut Kohlberg
Dalam
penelitiannya Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam seluruh
proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe ideal
itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga “tingkat”
yang masing-masing dibagi lagi atas dua “tahap”. Ketiga “tingkat” itu adalah
tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca- konvensional. Intervensi Teori
Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... Anak dalam tahap prakonvensional
sering kali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai
baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman,
ganjaran, kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan
peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat ini biasanya
ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh tahun. Pada tingkat ini
akan dijumpai dua tahapan yakni: Tahap I, Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi
pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih
tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan
sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini. Dilanjutkan tahap 2: Orientasi
relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara
instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan
orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat
unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi
semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal balik, dan bukan
soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan. Kedua tahapan dalam tingkat
awal ini ini disebut Hedonisme instrumental dimana sifat timbal balik disini
memegang peranan tapi dalam arti masih ”moral balas dendam”. Kedua tahapan
inipun sesuai dengan waktu dengan stadium pra-operasional dalam teori perkembangan
kognitif Piaget (Monks, dkk, 1999: 313). Tingkat kedua atau tingkat
konvensional yang terjadi pada usia 10-13 tahun, juga dapat digambarkan sebagai
tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tingkat
ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan
dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat
yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan
tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan
tatanan sosial itu. Pada tingkat konvensional terdapat dua tahapan yang meliputi:
tahap 3, yakni orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak
manis”. Pada tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku yang menye-nangkan
atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak
konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip mengenai apa yang diangap
tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang ‘wajar’. Perilaku kerap kali dinilai
menurut niat, ungkapan “ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi
penting dan digunakan secara berlebihlebihan. Orang mencari persetujuan dengan
berperilaku “baik”. Kemudian diikuti oleh tahap 4 yakni anak akan mematok Orientasi
hukum dan ketertiban. Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan
pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas,
memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial
tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan
berperilaku
menurut
kewajibannya. Tingkat pasca-konvensional yang terjadi dalam usia 13 tahun ke
atas, yang dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral
otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas
kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi yang memegangnya dan terlepas pula dari
identifikasi si individu dengan pribadi-pribadi atau kelompokkelompok tersebut.
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.
Pada tingkat
pasca-konvensional kita melihat ada dua tahapan yakni tahap 5; Orientasi kontrak
sosial legalistis. Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar
legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari
segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati
oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai
relativisme nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada
prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati
secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal
nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas sudut pandangan
legal, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan Intervensi Teori Perkembangan
Moral Lawrence Kohlberg.... perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional
mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka hukum dan
ketertiban seperti pada gaya tahap
4. Di luar
bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat
unsur-unsur kewajiban. Dalam tingkat ini diakhiri oleh tahap 6 yang berisi
Orientasi Prinsip Etika Universal. Orientasi pada keputusan suara hati dan pada
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis,
menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak
dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif).
5. Peran
Pentahapan Perkembangan Moral Kohlberg dalam Pendidikan Karakter Rosulullah
sebagai pembawa misi pendidikan karakter bagi seluruh umat mengatakan bahwa
pendidikan karakter hendaknya dilakukan sedini mungkin. Indikator utama
perintah ini adalah terdapat dalam perintah beliau untuk menanamkan nilai tauhid
sejak dini sebagaimana dalam haditsnya “Jadikanlah kalimat pertama yang diucapkan
oleh anak adalah kalimat Laa ilaaha illallaah dan bacakan kepadanya menjelang
maut Laa ilaaha illallaah” (H.R Ibnu Abbas). Anas r.a pernah mengatakan bahwa
Rosul pernah bersabda: Anak itu pada hari ke tujuh kelahirannya disembelihkan
akikahnya, serta diberikan nama dan disingkirkan dari segala kotoran-kotoran. Jika
ia telah berumur 6 tahun, maka didiklah ia beradab susila, jika ia telah
berumur 9 tahun, pisahkanlah tempat tidurnya, jika ia telah berumur 13 tahun
dipukul agar mau shalat, Jika ia telah berumur 16 tahun boleh dikawinkan
setelah itu ayah berjabat tangan dengannya dan mengatakan: saya telah mendidik,
mengajar dan mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah dari
fitnah-fitnah di dunia dan siksaan di akhirat (H.R. Ibnu Hibban). Dari kedua
hadits diatas terdapat upaya Rosul untuk mengajarkan anak tentang akhlaq secara
bertahap, dimana dimulai diawal kehidupan mereka (usia 0 tahun) untuk
menanamkan nilainilai tauhid, dan saat ia telah berusia 6 tahun hendaknya
diajarkan tentang moral sopan santun, adab, etika), saat ia telah berusia 7 tahun
hendaknya diajarkan tentang tanggung jawab diri, saat ia telah berusia 9 tahun
hendaknya diajarkan tentang kemandirian, dan saat usianya 13 tahun hendaknya
diajarkan tentang bermasyarakat. Maka memberikan pendidikan karakter hendaknya
sifatnya bertahap sesuai dengan fase perkembangan anak Mendidik karakter,
menurut Lickona (dalam Prasetyo, 2008: 8), adalah mendidik tiga aspek kepribadian
manusia yaitu moral knowing, moral feeling or attitudes, and moral behavior.
Karakter yang baik terdiri atas mengetahui yang ma’ruf, meniatkan untuk berbuat
yang ma’ruf, dan melakukan kebiasaan berpikir, berhati dan bertindak yang
ma’ruf. Ketiganya diperlukan menuju pada kehidupan bermoral dan memperbaiki
kedewasaan moral. Pendidikan karakter yang baik menurut Lickona (dalam Zuchdi 2009:11),
harus melibatkan bukan saja aspek ‘knowing the good’ (moral knowing), tetapi
juga ‘desiring the good’ atau ‘loving the good’ (moral feeling) dan ‘acting the
good’ (moral action). Penekanan aspek-aspek tersebut diperlukan agar peserta didik
mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan,
tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa. Dalam moral knowing,
terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya yakni: 1) moral awareness,
2)knowing moral values, 3) perspective taking, 4) moral reasoning, 5) decision
making, dan 6) self knowlwdge. Dalam moral feeling, terdapat enam hal yang
merupakan aspek dari emosi yang harus dapat dirasakan oleh seseorang untuk menjadi
manusia berkarakter yaitu: 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving
the good, 5) self control, 6) humanity. Sedangkan dalam moral action, yang merupakan
hasil dari dua komponen karakter lainnya, diperlukan tiga aspek dari karakter
yaitu: 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will), 3) kebiasaan (habit). Menanamkan
subtansi karakter dengan pijakan moral tersebut tidak akan bisa dilakukan
secara efektif jika pendidik tidak memahami anak pada usia berapa dan bagaimana
karakter dari perkembangan moral di usia tersebut. Peran pendidik dalam
mengupayakan pendidikan karakter dapat di dasarkan pada pemahaman secara
menyeluruh kondisi peserta didik mengenai tugas-tugas perkembangan yang telah
di capai peserta didik khususnya dalam aspek perkembangan moral. Pendidik
mestinya memahami apa yang telah di capai serta apa yang mesti di capai dalam
tugas pekembangan moral peserta didik. Maka melalui pemahaman pendidik terhadap
konsep perkembangan moral menurut Kohlberg diatas, dapat Intervensi Teori
Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... menjadi acuan pendidik dalam mengimplemenytasikan
pendidikan karakter secara proporsional sesuai kondisi peserta didik. Pernyataan
di atas dalam implementasinya dapat di gambarkan sebagai berikut; Misalnya,
ketika seorang pendidik harus mendampingi murid yang berada pada usia 4 hingga
10 tahun, maka pendidik harus memahami bahwa murid sedang berada dalam tahap
perkembangan moral prakonvensional. Dalam tahap ini murid seringkali
berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan
buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran
kebaikan). Pendidik juga harus memahami eksistensi moral mereka dalam usia
tersebut lebih berorientasi hukuman dan kepatuhan yang diikuti oleh orientasi relativis-intrumental
di mana perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain yang bersifat
fisis pragmatis dimana akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai
manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini. Maka penekanan
yang bisa diberikan pendidik dalam ketiga aspek yang terdapat dalam pendidikan
karakter adalah lebih menyesuaikan terhadap kedua orientasi kepatuhan tersebut.
Membangun moral knowing, moral feeling/attitudes, dan moral behaviour pada usia
tersebut akan lebih mudah jika dengan mengupayakan pemahaman murid tentang
suatu hubungan sebab akibat ataupun hubungan yang bersifat timbal balik dalam
suatu perilaku, misalnya, murid lebih mudah patuh ketika harus diperintahkan
untuk tenang di dalam kelas dengan konsekwensi bila mereka gaduh maka akan
tidak di perbolehkan pulang. Namun ketika guru melarang murid gaduh dengan
alasan akan mengganggu konsentrasi temannya, tentu hal ini akan lebih sulit
untuk mereka patuhi karena kurang memberi dampak langsung pada mereka. Perlakuan
di atas tentu tidak cocok ketika pendidik di hadapkan pada kelompok anak usia
diatas 13 tahun, yang menurut Kohlberg ada pada tingkat pasca-konvensional.
Anak pada usia ini lebih berorientasi kontrak sosial legalistis sehingga
perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran
yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Maka
dalam menekankan setiap aturan pada kelompok usia ini hendaknya melalui
penanaman kesadaran dari mereka tentang nilai-nilai dan pendapat-pendapat
pribadi tentang suatu perilaku. Misalnya, mengapa mereka dilarang gaduh di
kelas, guru tidak lagi memberi ancaman punishment berupa larangan pulang bagi
yang gaduh, seperti pada contoh di atas yang terjadi pada anak dalam tingkat
pra-konvensional, namun guru lebih membangun pemahaman pada mereka bahwa
pentingnya menciptakan suasana tenang di kelas dalam rangka membangun situasi
dan kondisi yang mendukung konsentrasi mereka dalam proses belajar di kelas
Maka upaya guru adalah membangun kesadaran bersama tentang tanggung jawab
menciptakan suasana yang kondusif di kelas lebih efektif dari pada memahamkan
melalui punishment. Contoh tersebut memberi gambaran bahwa dengan memahami
tahapan perkembangan moral akan sangat membantu pendidik dalam memberikan
perlakuan yang cocok dengan perkembangan aspek moral peserta didik khususnya dalam
mengembangkan kepribadian mereka melalui pendidikan karakter yang efektif.[30]
1
Landasan Pendidikan
Karakter
a.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis pelakasanaan pendidikan karakter
sangat jelas. Hal ini tampak dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisem Pendidikan Nasional pada Pasal yang menyatakan:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia;sehat; berilmu; cakap;
kreatif; mandiri; dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.[31]
Dalam pasal tersebut, secara tersirat dapat
disimpulkan bahwa pendidikan nasional berfungsi dan bertujuan membentuk
karakter (watak) peserta didik menjadi manusia sempurna.
b.
Landasan Religi
Yang
dimaksud landasan
religi dalam uraian ini adalah landasan atau dasar-dasar yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Al-Hadits). Sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yaitu:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل : 125
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (Q.S. An-Nahl: 125).[32]
Surat Al-Qalam ayat 4
وَإِنَّكَ لَعَلى
خُلُقٍ عَظِيمٍ - القلم : 4
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar
berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al-Qalam:4).[33]
Sedangkan
Hadits
Nabi yang menjadi sumber hukum berperilaku atau berkarakter yang baik ialah :
Dari
Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda:
وعن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: "إنمابعثت لأتمم مكارم الأاخلاق" (رواه أحمد)
Artinya : ”sesungguhnya aku diutus kebumi hanyalah untuk
menyempurnakan akhlaq”. (Hadits riwayat Ahmad).[34]
Dari
ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW di atas, dapat kita ketahui bahwa Allah SWT
dan Rasul-Nya menganjurkan kepada manusia untuk senantiasa memiliki akhlak/karakter yang baik, dimana
kepribadian Rasulullah SAW lah yang menjadi cerminan untuk dijadikan panutan.
Sangat jelas diterangkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits bahwa Rasulullah SAW
diutus ke bumi itu untuk menyempurnakan akhlak
umatnya. Keluhuran budi Rasulullah SAW, telah beliau tampakkan sedari beliau
kecil. Dan hal itu telah diakui oleh bangsa Quraisy pada zamannya, sehingga
beliau mendapatkan gelar Al-Amin yang
artinya dapat dipercaya. Dari itu lah memang tidak diragukan lagi bahwa di
dalam diri Rasulullah SAW itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kita semua.
Seperti halnya firman Allah yang termaktub didalam Al Qur an Surat Al-Ahzab
ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا . الأحزاب : 21
Artinya : “sungguh, telah ada pada (diri) rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.(Q.s. Al-Ahzab :
21) [35]
c.
Landasan Filsafat Manusia
Secara filosofis, manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan
belum selesai. Mereka dilahirkan dalam bentuk setengah jadi. Manusia yang
ketika dilahirkan berwujud anak manusia belum tentu dalam proses perkemban
gannya ketika dewasa menjadi manusia yang sesungguhnya. Agar dapat menjadi
manusia yang sesungguhnya, dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya,
anak-anak manusia memerlukan bantuan. Upaya membantu manusia untuk menjadikan
manusia yang sesungguhnya itulah yang disebut pendidikan.[36]
Berbeda dengan hewan, yang memang dari lahir sampai proses perkembangannya akan
tetap menjadi hewan yang sesungguhnya dan berkarakter sebagai hewan.
Dalam proses perkembangannya, karakter manusia bahkan dapat lebih
buruk daripada hewan. Oleh sebab itu, pendidikan karakter sangat diperlukan
bagi manusia sepanjang hidupnya, agar menjadi manusia yang berkarakter baik.
d.
Landasan Filsafat Pancasila
Bangsa Indonesia yang memiliki dasar pancasila,
seharusnya juga memiliki perilaku/karakter yang senantiasa dijiwai oleh
nilai-nilai yang terkandung dalam ke-5 sila pancasila, yakni: Bangsa yang
ber-keTuhanan Yang Maha Esa; Bangsa yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan
yang adil dan beradab; Bangsa yang mementingkan persatuan dan kesatuan untuk
Indonesia; Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi
Manusia; Bangsa yang mengedepankan keadilan sosial dan kesejahteraan untuk
seluruh rakyat Indonesia.
“Manusia
Indonesia yang ideal, adalah manusia Pancasilais, yaitu menghargai nilai-nilai
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial”.[37]
e.
Landasan Filsafat Pendidikan
Seseorang yang berkepribadian utuh digambarkan
dengan terinternalisasikannya nilai-nilai dari berbagai dunia makna (nilai),
yaitu nilai simbolik yang ada dalam bahasa, ritual keagamaan, dan matematika;
nilai empirik terdapat dalam Sains dan Ilmu Pengetahuan Sosial; nilai estetik
yang terdapat pada kesenian; nilai etik dikembangkan melalui pendidikan moral; yang
tercermin dalam pengalaman hidup yang unik dan sangat mengesankan yang mampu
mengubah perilaku; dan nilai sinoptik yang merangkum keseluruhan nilai dan
hadir dalam pendidikan agama, sejarah dan filsafat. [38]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter pada dasarnya merupakan proses internalisasi nilai-nilai di
atas yang dapat diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan
dalam pendidikan formal maupun non formal.
f.
Landasan Sosiologis
Secara sosiologis, bangsa Indonesia merupakan
kumpulan dari masyarakat yang heterogen, dengan beranekaragam suku, agama,
etnis, budaya, golongan, dan status sosial yang berbeda. Mereka pun juga hidup
berdampingan dengan warga yang tinggal di negara tetangga dan tentunya memiliki
perbedaan adat istiadat dan latar belakang. Sehingga, dalam hal ini
pengembangan karakter untuk saling menghargai dan toleransi menjadi sangat
penting.
g.
Landasan Psikologis
Dari sisi psikologis, karakter manusia dapat
dideskripsikan dari dimensi-dimensi intrapersonal, interpersonal, dan
interaktif. Dimensi intrapersonal terfokus pada kemampuan atau upaya manusia
untuk memahami diri sendiri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. “Dimensi
interpersonal secara umum dibangun atas kemampuan inti untuk mengenali
perbedaan, sedangkan secara khusus merupakan kemampuan manusia mengenali
perbedaan dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dimensi
interaktif adalah kemampuan manusia dalam berinteraksi sosial dengan sesama
secara bermakna”.[39]
Dari segi psikologi perkembangan, manusia memiliki
tahapan dalam perkembangannya. Dari setiap tahapan perkembangannya, manusia
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Usia anak-anak tidak sama
karakteristiknya dengan usia remaja, usia dewasa dan usia tua. Oleh karena itu
diperlukan pendidikan karakter yang menanamkan nilai kesantunan, kepedulian dan
saling menghargai.
[1] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter;
Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h.79
[2] Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita. Kompas
[3] Hilda Ainissyifa pendidikan karakter dalam
perspektif islam, jurnal pendidikan universitas Garut Vol. 08 No. 01 hlm.
1-26
[4] Majid, A. & Andayani, D., Pendidikan
Karakter Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya. Tahun 2012), hlm.
11
[6] Wibowo, Agus, 2012. Pendidikan Karakter;
Strategi Membangun Karakter bangsa Berperadaban, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2012) hlm. 32
[8] Aini Nur Aeni Pendidikan Karakter Untuk
Siswa SD Dalam Perspektif Islam, jurnal mimbar sekolah dasar vol. 1 no. 1
2014 hlm. 50-58
[9] Dalmeri Mawardi pendidikan untuk
pengembangan karakter (telaah terhadap gagasan Thomas Lichona dalam educating) jurnal
al-ulum vol.14 no.1 2014, hlm.269-288
[10] Majid, dkk., Pendidikan Karakter
Perspektif Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004) hlm.14
[11] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq
(terjemahan S. H. Tamir), Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, Beirut. 1398
hlm. 56
[13] Hariyanto dan Febriana Anjaryanti, Character
Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Karakter, jurnal
JPII vol.1 no.1 2016 hlm.111-118
[16] Muchlas Samani dan Haryanto, Konsep dan
Model Pendidikan Karakter, (PT. Remaja Rosdakarya, 2011) hlm.41
[17] Kementrian Pendidikan Nasional, Pedoman
Sekolah Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta, 2010)
hlm. 3
[18] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter:
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. (Jakarta: Grasindo 2007), hlm.80
[19] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter
Menjawab Tantangan KrisisMultidi mensial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
hlm.36
[21] Sofan Amri, Ahmad Jauhari, & Tatik
Elisah, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran, (Jakarta:
PT. Prestasi Pustakarya, 2011), hlm. 167
[23] Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model
Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 42
[24] Tim Pengembang Pendidikan Karakter, Bahan
Ajar Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kemendikbud, 2011), hal. 2
[25] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab
Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 70
[26] Mutawalia, Penerapan Pendidikan Karakter
di Pondok Pesantren Al-MuawanahKecamatan Pajaresuk Pringsewu, (lampung:
Universitas Islam Negeri Raden Intan), hlm.23
[28] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual,
Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Membangun Jatidiri, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2006), h.11
[29] M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter : Membangun Peradaban
Bangsa (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010),h.12
[30] Fatma Laili Khoirun Nida Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg Dalam Dinamika Pendidikan Karakter Jurnal Penelitian Pendidikan
Islam Vol. 8, No. 2, Agustus 2013 hlm. 271-290
[31] Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam, Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2006) hal. 8-9
[36] Novan Ardy Wiyani, Konsep, Praktik, dan Strategi Membumikan
Pendidikan Karakter di SD (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Cet. I, hal.
32-33
Comments
Post a Comment