PENDIDIKAN KARAKTER


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Akhlak menurut para ahli
            Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ‘karakter’ diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dangan yang lain, dan watak. Ki Hadjar Dewantara memandang karakter sebagai watak atau budi pekerti. Menurutnya budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan yang kemudian menimbulkan tenaga.
            Karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan sap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat di anggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam fikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatannorma agama, hokum, tata kraa, budaya, adat istiadat, dan estetika.
            Istilah karakter baru muncul pada dunia pendidikan pada akhir abad ke-18, dan untuk pertama kalinya dicetus oleh pedadogik jerman F.W. Forester.[1] Istilah karakter digunakan secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad 18, terminologi karakter mengacu pada pendekatan idealis spiritualis yang juga yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, dimana yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motivator dan dominisator sejarah baik bagi individu maupun bagi perubahan nasional. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution).
            Sedangkan Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.[2]
            Russel Williams menggambarkan pengertian karakter itu seperti “otot”, yang mana otot-otot karakter ini akan menjadi lemah apabila jarang di pakai ataupun dilatih, namun akan berbanding terbalik apabila otot-otot ini sering dilatih, sperti para binaragawan yang mempunyai otot-otot kekar, mengapa demikian? Ya tentu saja jawabannya karna mereka sering melatih otot-otot mereka. Begitu juga dengan karakter iya akan menjadi sebuah kebiasaan apabila orang yang mempunyai karakter ini melatihnya (mempraktiknya) setiap kali perbuatannya sehari-hari.[3]
            Andayani dan Majid dalam bukunya ada beberapa pemaparan mengenai pengertian dari karakter menurut para ahli, bahwa Bohlin dan Ryan mendefinisikan karakter mempunyai tiga unsur pokok yaitu, melakukan kebaikan (doing the good), mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good). Menurutnya pendidikan karakter, kebaikan biasa dirangkum kedalam sifat-sifat baik.[4]
            Jika kita dalami lebih mendalam lagi kata karakter ini berasal dari bahasa latin yaitu “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, di dalam bahasa Inggris yaitu “charakter” dan dalam bahasa kita sendiri yaitu bahasa Indonesia “karakter”, Yunani “character”, dari charassein yang berarti membuat dalam, membuat tajam. Dalam kamus Poerwandarminta, karakter diartikan sebagai watak, sifat-sifat kejiwaan, tabiat, budi pekerti atau akhlak yang membedakan seseorang dengan yang lain. Nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti kebiasaan, perilaku, kesukaan, kemampuan, potensi, kecenderungan, ketidaksukaan, pola-pola pemikiran dan nilai-nilai.
            Kertajaya mengartikan karakter adalah keunikan khusus atau ciri khas yang dipunyai seseorang atau benda secara individu. Keunikan khusus tersebuat adalah asli dan mengakar pada pribadi seseorang atau individu lainnya. Keunikan khusus ini ibaratkan mesin penggerak bagi individu yang memilikinya untuk berujar, bersikap, merespon sesuatu ataupun bertindak.
            Parnwell dan Hornby mendefinisikan karakter adalah reputasi atau nama, moral atau kualitas mental, kekuatan moral.[5] Menurut Thomas Lichona (dalam Wibowo) karakter adalah sifat yang natural seorang individu dalam menanggapi keadaan secara bermoral.[6]
            Sedangkan menurut Suyanto (dalal Wibowo) karakter yaitu cara berprilaku atau berpikir seorang individu dan menjadi ciri khasnya untuk menjalankan hidup dan bekerja sama baik dalam ruang lingkup negara, keluarga, atau masyarakat. [7] Imam Al-Ghazali mendefinisikan karakter yaitu spotanitas manusia dalam melakukan atau bersikap terhadap perbuatan yang telah melekat dalam diri manusia itu sendiri sehingga ketika di melakukan sesuatu tanpan berpikir lagi.[8]
            Thomas Lichona memaknai kata karakter dengan “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya dia menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”[9].
            Menurut Majid dkk. Pendidikan karakter mempunyai makna yaitu membentuk budi pekerti, watak dan kepribadian dengan cara mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu.[10] Menurut pandangan Ibnu Miskawaih karakter ada yang bersifat produktif dan ada juga yang bersifat alamiah, artinya dari sebuah proses habitualisasi dan eksternalisasi, yang terbentuk dari latihan dan kebiasaan, dan pada akhirnya menjadi karakter. [11]
            Ilyas memaknai karakter dengan kata akhlaq yang mempunyai arti tingkah laku, tabiat, budi perkerti, perangai. Berakar dari kata khalaqa yang merarti menciptakan. Seakar dengan kata makhluq (yang diciptakan), khalq (penciptaan), dan khaliq (pencipta).[12]
            Imam Al-Ghazali juga memaknai karakter dengan kata akhlak yang mempunyai arti suatu sikap atau perbuatan yang gampang muncul, tanpa ada pertimbangan dan pemikiran lagi karna sikap tersebut sudah menyatu dengan jiwa sang individu.[13]
            Menurut Ibnu Maskawaih karakter atau juga akhlak adalah keadaan jiwa untuk melakukan sesuatu perbuatan tanpa ada perhitungan dan dipikir lagi sebelumnya.[14] Al-Jurjawi mengartikan karakter (akhlak) itu ruang lingkupnya hanya sebatas kondisi batiniah saja bukan kondisi lahiriah. Contohnya, orang yang memiliki karakter yng dermawan bisa saja tidak membelajakan uangnya demi kemashlahatan dan kebaikan, namun sebaliknya orang yang pelit bisa juga ia membelanjakan uangnya dengan niat boros, sombong dan riya’.[15]
            Menurut Samani dan Haryanto karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bertindak maupun dalam bersikap.[16] Kementerian Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.[17]
            Doni Koesoema mengungkapkan bahwa karakter merupakan ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari seseorang yang terbentuk dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud seperti keluarga, teman masa kecil atau teman sebaya dan juga lingkungan dimana seseorang tersebut sering berinteraksi dengan orang lain. [18]
            Thomas Lickona dalam Masnur Muslic mendefinisikan seseorang yang berkarakter sebagai sifat alami seorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggungjawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. [19]
            Menurut Mounir dalam Doni Koesoema istilah karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas yaitu karakter dapat dilihat sebagai dua hal. Dua hal tersebut yaitu pertama sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang paksaan dalam diri kita (given). Kedua karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui dimana seseorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. [20]
            Sofan Amri, dkk menjelaskan bahwa karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Seorang yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan bertanggungjawab[21].
            Furqon Hidayatullah menjelaskan bahwa karakter merupakan kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. menurut Khan adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Sedangkan menurut Novak, sebagaimana dikutip Lickona, karakter adalah campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang-orang yang berakal sehat yang ada dalam sejarah[22].
            Jack Corley dan Thomas Philip, sebagaimana dikutip Muchlas Samani dan Hariyanto, mendefinisikan karakter sebagai sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dam mempermudah tindakan moral[23]. Menurut Tadkiroatun Musfiroh, karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia[24].

            Suyanto, sebagaimana dikutip Muslich, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara[25]. Jadi karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
            Menurut Thomas Lichona dalam skripsi Mutawalia karakter adalah merupakan sifat almi seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami tersebut diimplementasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang jujur, baik, adil, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan karakter baik lainnya. Pengertian yang dikemukakan oleh Lichona ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh Lichona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter yang dirumuskan dengan indah: loving, knowing and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintai dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter yang baik.[26]
            Menurut Suyanto karakter adalah cara berperilaku dan berpikir yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan kerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau pun bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari perbuatan yang dibuatnya.[27]
             karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akanbersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Istilah karakter juga dianggap sama dengan kepribadian atau ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seorang[28].
            Karakter juga diartikan watak, yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku atau kepribadian.
             M. Furqon Hidayatullah mengutip dari Rutland yang mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa Latin yang berarti "dipahat". Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit dengan hati-hati dipahat atau pun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya.[29]
            Doni Koesoema memahami bahwa istilah karakter, berasal dari bahasa Yunani “karasso", berarti cetak biru, format dasar. Ia melihat ada dua makna interpretasi dari karakter, yaitu pertama, sebagai kumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sononya (given).Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seseorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (wiled).
            Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. karakter juga bisa diartikan sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis.
            Scerenco mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentukdan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok, atau bangsa. Robert Marine mengambil pendekatan yang berbeda terhadap makna karakter, menurt dia karakter adalah gabungan yang samar-samar antara sikap dan perilaku bawaan dan kemampuan, yang membangun pribadi seseorang.
Memahami makna pendidikan karakter tentunya berangkat dari pemahaman kita mengenai definisi dari karakter itu sendiri. Menurut Thomas Lickona (dalam Wibowo, 2012: 32), karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami tersebut dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Menurut Suyanto (dalam Wibowo, 2012: 33) karakter adalah cara berfikir, dan berperilaku yang menjadi cirri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 623), istilah karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam definisi yang lain dijelaskan bahwa karakter adalah sikap pribadi yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Memahami beberapa definisi karakter di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sikap maupun cara seseorang merespon segala stimulus dan permasalahan hidup disekitar mereka baik melibatkan kemampuan kognitif maupun emosi mereka dan teraktualisasikan dalam perilaku mereka baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat secara luas. Maka tidak dapat dinafikan bahwa peranan karakter sangat dominan dalam membentuk wajah suatu bangsa dan sangat menentukan kemajuan suatu negara. Memahami betapa besar kontribusi karakter dalam mewarnai kehidupan suatu bangsa maka tidak dapat dinafikan bahwa peran karakterpun memiliki andil besar dalam setiap dimensi kehidupan suatu bangsa. Fenomena yang ada disegala penjuru dunia menunjukkan bahwa bangsa yang memiliki karakter yang tangguh maka secara beriringan mampu tampil sebagai bangsa yag maju dan sejahtera pembusukan moral yang dimaksud oleh Arnold Toynbe sebagai salah satu kontributor utama dalam kehancuran suatu bangsa dapat diidentifikasikan dengan lemahnya karakter bangsa yang bersangkutan. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan karakter suatu bangsa sangat menentukan kualitas dari pembangunan bangsa itu sendiri.
Karakter tangguh yang dimiliki individu akan membuat individu tersebut mampu bertahan dalam segala situasi kehidupan yang stabil sampai pada kondisi yang tersulit sekalipun. Ia akan dapat menciptakan kehidupan yang kondusif dan bermakna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan di sekitarnya. Maka untuk itulah diperlukan suatu usaha dalam rangka enumbuh kembangkan karakter yang positif sejak dini melalui pendidikan karakter. Dimana pendidikan karakter oleh dapat didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat (Saptono, 2011: 23).
a. Tujuan Pendidikan Karakter
Socrates berpendapat bahwa tujuan yang paling mendasar dari sebuah pendidikan adalah untuk membentuk seseorang menjadi good smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga pernah mengajarkan bahwa beliau memiliki misi utama dalam mendidik manusia untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Ribuan tahun setelah itu, konsep utama dari rumusan tujuan pendidikan tetap pada wilayah serupa yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks, dan Goble seakan menjadi penyambung misi dari Rosulullah Muhammad saw dan Socrates bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga Marthin Luther King yang menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan “Intelegence plus character that is the true aim of education” (dalam Majid, 2011: 30). Penjabaran dari para tokoh-tokoh dunia yang berpengaruh pada dunia pendidikan diatas memberi gambaran bahwa secara universal pendidikan karakter merupakan aspek yang sangat substansial yang disepakati sebagai nilai universal dalam tujuan pendidikan yang berlaku dimanapun, kapanpun dan oleh pemikiran siapapun. Tujuan mendasar yang diharapkan adalah membentuk Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... kualitas manusia yang yang lebih baik dalam sikap, pengetahuan, ketrampilan dan semua perilakunya.
b. Karakter yang Baik
Karakter seseorang akan tampak pada kebiasaannya seharihari.Kecenderungan yang muncul adalah selalu memikirkan hal yang baik (habits of mind), menginginkan hal yang baik (habits of heart), dan melakukan hal yang baik (habits of action). Maka jika kebaikan merupakan subtansi dari karakter yang ideal, maka makna kebaikan adalah kecenderungan untuk melakukan tindakan yang baik menurut sudut pandang moral universal. Baik, dapat bersifat objektif, yakni baik secara kualitas diakui dan dijunjung tinggi oleh agama maupun masyarakat, dan disisi lain baik juga dapat bersifat intrinsik, yakni baik yang secara kualitas lahir dari hati nurani manusia yang beradab. Bertolak dari criteria objektif dan intrinsik tersebut maka melahirkan dua kebajikan fundamental yang dibutuhkan untuk membangun sebuah karakter yang ideal yakni rasa hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility). Selain mengajarkan dua kebajikan fundamental tersebut, terdapat sepuluh kebajikan esensial yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang baik, meliputi: Kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), ketabahan (fortitude), pengendalian diri (self control), kasih (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati (humility) (Saptono, 2011: 20-21).
c. Pilar Pendidikan Karakter
William Kilpatric menyebutkan bahwa salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) ialah karena ia tidk terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut (moral doing). Maka berangkat dari pemikiran tersebut, keberhasilan pendidikan karakter sangat ditentukan oleh ada tidaknya knowing, lovingdan doing (acting) dalam proses penyelenggaraan pendidikan karakter (Majid, 2011: 31).
1) Moral knowing
Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter, dimana dalam tahapan ini bertujuan memberikan penguasaan pengetahuan pada siswa tentang nilai-nilai. Dalam aspek ini, terdapat enam unsure yang harus diajarkan kepada siswa untuk mengisi ranah pengetahuan (kognitif) bagi mereka, yakni 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) pengetahuan tentang nilai-nilai moral (moral knowing values), 3) penentuan sudut pandang (moral reasoning), 4) Keberanian menentukan sikap (decision making), 5) pengenalan diri (self knowledge) Karena moral knowing merupakan pembentukan karakter dalam komponen kognitif, maka peran akal tidak dapat diabaikan. Untuk itulah maka Allah dalam firmanNya menegaskan berkalikali tentang potensi akal tersebut, dimana akal inilah yang menjadi unsur pembeda manusia denga makhluk Alah yang lain, dan akal juga menjadi karakteristik fitrah manusia serta kontributor terbesar yang memposisikan manusia sebagai makhluk allah yang paling mulia. Rosulullah saw, sebagai model terbaik dari pendidikan karakter merupakan salah satu figur yang sempurna karena kecerdasan akalnya. Sifat fathanah Rosulullah inilah yang dapat menjadi rujukan dalam pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam. Dengan merujuk pada keteladanan kecerdasan Rosulullah saw tersebut, maka kecerdasan akal saja tentu tidak cukup, namun juga harus dilengkapi dengan sikap bijaksana dan arif dalam berpikir dan bertindak. Implementasinya adalah sejauh mana individu dapat mengambil hikmah/pelajaran di balik setiap peristiwa sebagai bentuk pengalaman yang berharga bagi dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
2) Moral loving atau moral feeling
Tahapan ini merupakan penguatan aspek emosi (afektif) bagi siswa agar mereka tumbuh menjadi individu yang berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentukbentuk sikap yang harus dirasakan dan diyakini oleh siswa yaitu kesadaran akan jati diri yang meliputi: 1) percaya diri (self esteem), 2) kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), 3) cinta kebenaran (loving the good), 4) pengendalian diri (self control), 5) kerendahan hati (humility). (Andayani, 2011:34). Dari kelima aspek yang terlibat dalam dimanika emosi siswa akan terakumulasi menjadi sikap yang pada akhirnya menjadi pijakan dari munculnya suatu perilaku dalam merespon segala stimulus yang hadir dalam kehidupan siswa. Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... Menurut Hernowo (2003: 19) bersikap merupakan keberanian untuk memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan untuk ditindaklanjuti dengan mempertahankan pilihan tersebut lewat argumentasi yang bertanggung jawab, kukuh dan bernalar. Sebagai konsekwensi dari sikap seseorang maka akan melahirkan kecerdasan rohaniah yang menjadi kekuatan rohaniah. Maka senada dengan pendapat ini, Tasmara (2001: 222) menjelaskan bahwa kecerdasan yang termanifestasikan dalam bentuk individu yang amanah, akan terpancar sebagai bentuk nilai yang berupa: rasa tanggung jawab sebagai manifestasi taqwa, kecanduan kepentingan (sense of urgency) dimana seseorang merasa untuk dapat melaksanakan tugasnya sebaikbaiknya, amanah yang terwujud dalam bentuk tidak asaja dipercaya tapi juga mempercayai, serta hormat menghormati. Sikap tidak dapat diajarkan secara teoritis. Transfer sikap dapat dilakukan secara efektif melalui metode (uswah) teladan dari seorang guru pada murid atau orang tua pada anak. Maka sangat tidak mengherankan bila dilingkungan sekitar kita banyak mengalami kemerosotan moral yang tentunya berindikasi sikap di dalamnya dikarenakan minimnya teladan yang baik yang seharusnya menjadi sumber dalam pembentukan sikap yang positif bagi perkembangan karakter anak. Selain itu, banyak orang tua maupun guru yang kurang memahami tentang kebutuhan anak untuk mengekspresikan pendapatnya sebagai langkah awal dalam pembentukan sikap mereka. Padahal, keterbukaan anak untuk menyampaikan pendapat, keyakinan dan dorongan, sebagai sebuah proses yang terjadi pada diri mereka, akan mengantisipasi pengaruh potensi buruk dari suatu lingkungan melalui kemampuan anak dalam mengidentifikasinya, mengendalikan dan menundukkan lingkungan buruk tersebut dengan bimbingan guru maupun orang tua.
3) Moral doing atau moral behaviour
Rosulullah dalam sabdanya: “Engkau belum disebut sebagai orang yang beriman kecuali engkau memcintai orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”. Makna yang tersirat didalam hadits beliau adalah bagaimana kita harus berbuat baik terhadap sesama. Maka dalam mengimplementasikan kebaikan yang menjadi tugas kita tersebut mustahil akan dapat kita lakukan bila kita tidak dalam kebersamaan. Untuk itulah maka manusia lahir sebagai makhluk sosial. Keberhasilan manusia sebagai makhluk sosial dapat diukur dari sejauh mana keberdaan mereka dapat meberi manfaat bahkan bermakna bagi orang lain. Kemanfaatan yang harus kita sebar untuk sesama tidak akan bisa direalisasikan bila manusia tidak memiliki potensi atau kemampuan dan ketrampilan. Hal inilah yang harus menjadi perhatiansemua kalangan baik itu pendidik, orang tua maupun
lingkungan agar proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada pembentukan kompetensi agar siswa memperoleh outcome yang tidak hanya berkontribusi pada kehidupan dirinya sendiri namun juga member manfaat bagi kebaikan atau kualitas hidup orang lain. Bukan sebaliknya, menjadi beban dan tanggungan orang lain (Majid, 2011: 36).
2. Perkembangan Moral
Menurut Santrock perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial. Santrock juga menjelaskan bahwa perkembangan moral di dalamnya menyangkut perkembangan proses dalam berfikir, merasa, serta berperilaku yang sesuai dengan peraturan (Santrock, 2008: 316). Menurut Havinghurts, moral bersumber dari adanya suatu tata nilai. Tata nilai adalah suatu objek rohani atas suatu keadaan yang diinginkan. Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan nilai (value) yang diinginkan itulah yang disebut moral. Dengan demikian perkembangan moral individu sangat berkaitan dengan perkembangan sosialnya, disamping pengaruh kuat dari perkembangan kognitif, afektif dan konatifnya (Ahmadi, 2005:104). Bagi anak, perkembangan moral mulanya dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan yang bersifat biologis, namun untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman yang diperoleh dalam Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... lingkungan keluarganya yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku didalamnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan moral sangat dipengaruhi oleh peranan orangtua sebagai sosok yang paling dekat dengan anak (terutama ibu) sebagai kontributor pola perkembangan moral bagi anak seterusnya.
3. Kontribusi Piaget Dalam Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan penyempurna atas teori perkembangan kognitif Piaget. Perhatian tentang bagaimana anak-anak berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dirintis oleh Piaget pada tahun 1932 (dalam Santrock, 2008) melalui penelitianpenelitiannya yang luas dan mendalam dengan menggunakan metode observasi dan wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Dalam penelitiannya, Piaget mengangkat persoalan-persoalan moral seperti mencuri, berbohong, hukuman, dan keadilan. Dari hasil penelitiannya, Piaget membagi tahap-tahap perkembangan moral berdasarkan cara penalarannya, yaitu:
a. 4-7 tahun: tahap moralitas heteronom; pada tahap ini cara berpikir anak tentang keadilan dan peraturan bersifat obyektif dan mutlak (dalam Monks, Knoer, & Haditono, 2001), artinya tidak dapat diubah dan tidak dapat ditiadakan oleh kekuasaan manusia.
b. 7-10 tahun: tahap transisi; anak menunjukkan sebagian sifat dari tahap moralitas heteronom, dan sebagian sifat lain dari tahap moralitas autonom.
c. 10- dan seterusnya: tahap moralitas autonom; anak menunjukkan kesadaran bahwa peraturan dan hukum diciptakan oleh manusia, oleh karenanya dalam menilai suatu perbuatan, anak-anak selain mempertimbangkan akibatakibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, juga sekaligus mempertimbangkan maksud dan ikhtiar dari si pelaku. Secara esensial temuan Piaget tentang penilaian moral dalam perkembangan kognitif memiliki kecocokan dengan teori dua tahap. Anak yang lebih muda dari usia 10 atau 11 tahun memikirkan tentang dilemma moral dengan satu cara, sedangkan anak yang usianya lebih tua akan berpikir dengan beragam cara. Anak yang lebih muda memandang aturan sebagai sesuatu yang absolute dan baku. Bagi mereka aturan adalah produk orang tua atau Tuhan yang harus dipatuhi dan tak ada satupun yang bisa merubahnya. Namun pada anak yang lebih tua, mereka memahami aturan boleh berubah asal disepakati semua pihak. Aturan bukanlah hal yang bersifat sakral atau absolut tapi sebagai alat yang digunakan manusia secara kooperatif (Crain, 2007: 229). Kira-kira pada usia 10-11 tahun pemikiran moral anak mulai mengalami pergeseran. Anak yang lebih muda memandang bahwa penilaian moral lebih bergantung pada konsekwensi-konskwensi sedang pada yang lebih tua memreka memandang sebagai manifestasi
dari niat atau intense. Maka piaget mencontohkan kasus yang terjadi pada seorang anak kecil yang memecahkan 15 cangkir saat membantu ibunya dan seorang anak kecil lain memecahkan 1 cangkir saat ia sedang berusaha mencuri kue coklat, maka anak yang lebih muda akan berpikir bahwa anak kecil pertama berbuat lebih buruk dari pada anak kecil yang kedua. Sebab anak yang lebih muda akan lebih terfokus pada jumlah cangkir yang dipecahkan (konsekwensi, dampak), sedangkan anak yang lebih tua lebih menilai kesalahan lebih besar pada anak kecil yang kedua karena kelompok tersebut lebih fokus pada motif atau niatan dari perbuatan tersebut. Teori perkembangan moral yang dirintis Piaget ini kemudian dikembangkan oleh Kohlberg yang membagi tahap-tahap perkembangan moral dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Perkembangan moral terus berkembang samapai usia 16 tahun. Karenanya maka orang berasumsi bahwa masalah moral akan terus berkembang selama masa remaja. Maka Kohlberg terus melakukan wawancara pada kelompok remaja sehingga dari hasil penelitiannya menyempurnakan pentahapan yang diberikan oleh Piaget.
4. Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Dalam penelitiannya Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga “tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas dua “tahap”. Ketiga “tingkat” itu adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca- konvensional. Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... Anak dalam tahap prakonvensional sering kali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran, kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh tahun. Pada tingkat ini akan dijumpai dua tahapan yakni: Tahap I, Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini. Dilanjutkan tahap 2: Orientasi relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal balik, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan. Kedua tahapan dalam tingkat awal ini ini disebut Hedonisme instrumental dimana sifat timbal balik disini memegang peranan tapi dalam arti masih ”moral balas dendam”. Kedua tahapan inipun sesuai dengan waktu dengan stadium pra-operasional dalam teori perkembangan kognitif Piaget (Monks, dkk, 1999: 313). Tingkat kedua atau tingkat konvensional yang terjadi pada usia 10-13 tahun, juga dapat digambarkan sebagai tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu. Pada tingkat konvensional terdapat dua tahapan yang meliputi: tahap 3, yakni orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”. Pada tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku yang menye-nangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang ‘wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan “ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebihlebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku “baik”. Kemudian diikuti oleh tahap 4 yakni anak akan mematok Orientasi hukum dan ketertiban. Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku
menurut kewajibannya. Tingkat pasca-konvensional yang terjadi dalam usia 13 tahun ke atas, yang dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi yang memegangnya dan terlepas pula dari identifikasi si individu dengan pribadi-pribadi atau kelompokkelompok tersebut. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.

Pada tingkat pasca-konvensional kita melihat ada dua tahapan yakni tahap 5; Orientasi kontrak sosial legalistis. Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas sudut pandangan legal, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka hukum dan ketertiban seperti pada gaya tahap
4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban. Dalam tingkat ini diakhiri oleh tahap 6 yang berisi Orientasi Prinsip Etika Universal. Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif).
5. Peran Pentahapan Perkembangan Moral Kohlberg dalam Pendidikan Karakter Rosulullah sebagai pembawa misi pendidikan karakter bagi seluruh umat mengatakan bahwa pendidikan karakter hendaknya dilakukan sedini mungkin. Indikator utama perintah ini adalah terdapat dalam perintah beliau untuk menanamkan nilai tauhid sejak dini sebagaimana dalam haditsnya “Jadikanlah kalimat pertama yang diucapkan oleh anak adalah kalimat Laa ilaaha illallaah dan bacakan kepadanya menjelang maut Laa ilaaha illallaah” (H.R Ibnu Abbas). Anas r.a pernah mengatakan bahwa Rosul pernah bersabda: Anak itu pada hari ke tujuh kelahirannya disembelihkan akikahnya, serta diberikan nama dan disingkirkan dari segala kotoran-kotoran. Jika ia telah berumur 6 tahun, maka didiklah ia beradab susila, jika ia telah berumur 9 tahun, pisahkanlah tempat tidurnya, jika ia telah berumur 13 tahun dipukul agar mau shalat, Jika ia telah berumur 16 tahun boleh dikawinkan setelah itu ayah berjabat tangan dengannya dan mengatakan: saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah-fitnah di dunia dan siksaan di akhirat (H.R. Ibnu Hibban). Dari kedua hadits diatas terdapat upaya Rosul untuk mengajarkan anak tentang akhlaq secara bertahap, dimana dimulai diawal kehidupan mereka (usia 0 tahun) untuk menanamkan nilainilai tauhid, dan saat ia telah berusia 6 tahun hendaknya diajarkan tentang moral sopan santun, adab, etika), saat ia telah berusia 7 tahun hendaknya diajarkan tentang tanggung jawab diri, saat ia telah berusia 9 tahun hendaknya diajarkan tentang kemandirian, dan saat usianya 13 tahun hendaknya diajarkan tentang bermasyarakat. Maka memberikan pendidikan karakter hendaknya sifatnya bertahap sesuai dengan fase perkembangan anak Mendidik karakter, menurut Lickona (dalam Prasetyo, 2008: 8), adalah mendidik tiga aspek kepribadian manusia yaitu moral knowing, moral feeling or attitudes, and moral behavior. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui yang ma’ruf, meniatkan untuk berbuat yang ma’ruf, dan melakukan kebiasaan berpikir, berhati dan bertindak yang ma’ruf. Ketiganya diperlukan menuju pada kehidupan bermoral dan memperbaiki kedewasaan moral. Pendidikan karakter yang baik menurut Lickona (dalam Zuchdi 2009:11), harus melibatkan bukan saja aspek ‘knowing the good’ (moral knowing), tetapi juga ‘desiring the good’ atau ‘loving the good’ (moral feeling) dan ‘acting the good’ (moral action). Penekanan aspek-aspek tersebut diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan, tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa. Dalam moral knowing, terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya yakni: 1) moral awareness, 2)knowing moral values, 3) perspective taking, 4) moral reasoning, 5) decision making, dan 6) self knowlwdge. Dalam moral feeling, terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus dapat dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yaitu: 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving the good, 5) self control, 6) humanity. Sedangkan dalam moral action, yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya, diperlukan tiga aspek dari karakter yaitu: 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will), 3) kebiasaan (habit). Menanamkan subtansi karakter dengan pijakan moral tersebut tidak akan bisa dilakukan secara efektif jika pendidik tidak memahami anak pada usia berapa dan bagaimana karakter dari perkembangan moral di usia tersebut. Peran pendidik dalam mengupayakan pendidikan karakter dapat di dasarkan pada pemahaman secara menyeluruh kondisi peserta didik mengenai tugas-tugas perkembangan yang telah di capai peserta didik khususnya dalam aspek perkembangan moral. Pendidik mestinya memahami apa yang telah di capai serta apa yang mesti di capai dalam tugas pekembangan moral peserta didik. Maka melalui pemahaman pendidik terhadap konsep perkembangan moral menurut Kohlberg diatas, dapat Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg.... menjadi acuan pendidik dalam mengimplemenytasikan pendidikan karakter secara proporsional sesuai kondisi peserta didik. Pernyataan di atas dalam implementasinya dapat di gambarkan sebagai berikut; Misalnya, ketika seorang pendidik harus mendampingi murid yang berada pada usia 4 hingga 10 tahun, maka pendidik harus memahami bahwa murid sedang berada dalam tahap perkembangan moral prakonvensional. Dalam tahap ini murid seringkali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan). Pendidik juga harus memahami eksistensi moral mereka dalam usia tersebut lebih berorientasi hukuman dan kepatuhan yang diikuti oleh orientasi relativis-intrumental di mana perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain yang bersifat fisis pragmatis dimana akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini. Maka penekanan yang bisa diberikan pendidik dalam ketiga aspek yang terdapat dalam pendidikan karakter adalah lebih menyesuaikan terhadap kedua orientasi kepatuhan tersebut. Membangun moral knowing, moral feeling/attitudes, dan moral behaviour pada usia tersebut akan lebih mudah jika dengan mengupayakan pemahaman murid tentang suatu hubungan sebab akibat ataupun hubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu perilaku, misalnya, murid lebih mudah patuh ketika harus diperintahkan untuk tenang di dalam kelas dengan konsekwensi bila mereka gaduh maka akan tidak di perbolehkan pulang. Namun ketika guru melarang murid gaduh dengan alasan akan mengganggu konsentrasi temannya, tentu hal ini akan lebih sulit untuk mereka patuhi karena kurang memberi dampak langsung pada mereka. Perlakuan di atas tentu tidak cocok ketika pendidik di hadapkan pada kelompok anak usia diatas 13 tahun, yang menurut Kohlberg ada pada tingkat pasca-konvensional. Anak pada usia ini lebih berorientasi kontrak sosial legalistis sehingga perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Maka dalam menekankan setiap aturan pada kelompok usia ini hendaknya melalui penanaman kesadaran dari mereka tentang nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi tentang suatu perilaku. Misalnya, mengapa mereka dilarang gaduh di kelas, guru tidak lagi memberi ancaman punishment berupa larangan pulang bagi yang gaduh, seperti pada contoh di atas yang terjadi pada anak dalam tingkat pra-konvensional, namun guru lebih membangun pemahaman pada mereka bahwa pentingnya menciptakan suasana tenang di kelas dalam rangka membangun situasi dan kondisi yang mendukung konsentrasi mereka dalam proses belajar di kelas Maka upaya guru adalah membangun kesadaran bersama tentang tanggung jawab menciptakan suasana yang kondusif di kelas lebih efektif dari pada memahamkan melalui punishment. Contoh tersebut memberi gambaran bahwa dengan memahami tahapan perkembangan moral akan sangat membantu pendidik dalam memberikan perlakuan yang cocok dengan perkembangan aspek moral peserta didik khususnya dalam mengembangkan kepribadian mereka melalui pendidikan karakter yang efektif.[30]
1        Landasan Pendidikan Karakter
a.         Landasan Yuridis
Landasan yuridis pelakasanaan pendidikan karakter sangat jelas. Hal ini tampak dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisem Pendidikan Nasional pada Pasal yang menyatakan:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia;sehat; berilmu; cakap; kreatif; mandiri; dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.[31]

Dalam pasal tersebut, secara tersirat dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional berfungsi dan bertujuan membentuk karakter (watak) peserta didik menjadi manusia sempurna.
b.         Landasan Religi
Yang dimaksud landasan religi dalam uraian ini adalah landasan atau dasar-dasar yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Al-Hadits). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yaitu:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل : 125
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl: 125).[32]

Surat Al-Qalam ayat 4
                                                 وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ - القلم : 4
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al-Qalam:4).[33]
Sedangkan Hadits Nabi yang menjadi sumber hukum berperilaku atau berkarakter yang baik  ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda:
وعن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إنمابعثت لأتمم مكارم الأاخلاق" (رواه أحمد)
Artinya : ”sesungguhnya aku diutus kebumi hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq”. (Hadits riwayat Ahmad).[34]

Dari ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW di atas, dapat kita ketahui bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya menganjurkan kepada manusia untuk senantiasa memiliki akhlak/karakter yang baik, dimana kepribadian Rasulullah SAW lah yang menjadi cerminan untuk dijadikan panutan. Sangat jelas diterangkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits bahwa Rasulullah SAW diutus ke bumi itu untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Keluhuran budi Rasulullah SAW, telah beliau tampakkan sedari beliau kecil. Dan hal itu telah diakui oleh bangsa Quraisy pada zamannya, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin yang artinya dapat dipercaya. Dari itu lah memang tidak diragukan lagi bahwa di dalam diri Rasulullah SAW itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kita semua. Seperti halnya firman Allah yang termaktub didalam Al Qur an Surat Al-Ahzab ayat 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا . الأحزاب : 21
Artinya : “sungguh, telah ada pada (diri) rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.(Q.s. Al-Ahzab : 21) [35]

c.         Landasan Filsafat Manusia
Secara filosofis, manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan belum selesai. Mereka dilahirkan dalam bentuk setengah jadi. Manusia yang ketika dilahirkan berwujud anak manusia belum tentu dalam proses perkemban gannya ketika dewasa menjadi manusia yang sesungguhnya. Agar dapat menjadi manusia yang sesungguhnya, dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, anak-anak manusia memerlukan bantuan. Upaya membantu manusia untuk menjadikan manusia yang sesungguhnya itulah yang disebut pendidikan.[36] Berbeda dengan hewan, yang memang dari lahir sampai proses perkembangannya akan tetap menjadi hewan yang sesungguhnya dan berkarakter sebagai hewan.
Dalam proses perkembangannya, karakter manusia bahkan dapat lebih buruk daripada hewan. Oleh sebab itu, pendidikan karakter sangat diperlukan bagi manusia sepanjang hidupnya, agar menjadi manusia yang berkarakter baik.
d.        Landasan Filsafat Pancasila
Bangsa Indonesia yang memiliki dasar pancasila, seharusnya juga memiliki perilaku/karakter yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ke-5 sila pancasila, yakni: Bangsa yang ber-keTuhanan Yang Maha Esa; Bangsa yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab; Bangsa yang mementingkan persatuan dan kesatuan untuk Indonesia; Bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia; Bangsa yang mengedepankan keadilan sosial dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.
 “Manusia Indonesia yang ideal, adalah manusia Pancasilais, yaitu menghargai nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial”.[37]

e.         Landasan Filsafat Pendidikan
Seseorang yang berkepribadian utuh digambarkan dengan terinternalisasikannya nilai-nilai dari berbagai dunia makna (nilai), yaitu nilai simbolik yang ada dalam bahasa, ritual keagamaan, dan matematika; nilai empirik terdapat dalam Sains dan Ilmu Pengetahuan Sosial; nilai estetik yang terdapat pada kesenian; nilai etik dikembangkan melalui pendidikan moral; yang tercermin dalam pengalaman hidup yang unik dan sangat mengesankan yang mampu mengubah perilaku; dan nilai sinoptik yang merangkum keseluruhan nilai dan hadir dalam pendidikan agama, sejarah dan filsafat. [38]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter pada dasarnya merupakan proses internalisasi nilai-nilai di atas yang dapat diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan dalam pendidikan formal maupun non formal.
f.          Landasan Sosiologis
Secara sosiologis, bangsa Indonesia merupakan kumpulan dari masyarakat yang heterogen, dengan beranekaragam suku, agama, etnis, budaya, golongan, dan status sosial yang berbeda. Mereka pun juga hidup berdampingan dengan warga yang tinggal di negara tetangga dan tentunya memiliki perbedaan adat istiadat dan latar belakang. Sehingga, dalam hal ini pengembangan karakter untuk saling menghargai dan toleransi menjadi sangat penting.
g.         Landasan Psikologis
Dari sisi psikologis, karakter manusia dapat dideskripsikan dari dimensi-dimensi intrapersonal, interpersonal, dan interaktif. Dimensi intrapersonal terfokus pada kemampuan atau upaya manusia untuk memahami diri sendiri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. “Dimensi interpersonal secara umum dibangun atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, sedangkan secara khusus merupakan kemampuan manusia mengenali perbedaan dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dimensi interaktif adalah kemampuan manusia dalam berinteraksi sosial dengan sesama secara bermakna”.[39]
Dari segi psikologi perkembangan, manusia memiliki tahapan dalam perkembangannya. Dari setiap tahapan perkembangannya, manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Usia anak-anak tidak sama karakteristiknya dengan usia remaja, usia dewasa dan usia tua. Oleh karena itu diperlukan pendidikan karakter yang menanamkan nilai kesantunan, kepedulian dan saling menghargai.




           













[1] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h.79
[2] Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita. Kompas
[3] Hilda Ainissyifa pendidikan karakter dalam perspektif islam, jurnal pendidikan universitas Garut Vol. 08 No. 01 hlm. 1-26
[4] Majid, A. & Andayani, D., Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya. Tahun 2012), hlm. 11

[5] Hilda Ainissyifa op.cit
[6] Wibowo, Agus, 2012. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter bangsa Berperadaban, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012) hlm. 32
[7] Ibid. 33
[8] Aini Nur Aeni Pendidikan Karakter Untuk Siswa SD Dalam Perspektif Islam, jurnal mimbar sekolah dasar vol. 1 no. 1 2014 hlm. 50-58
[9] Dalmeri Mawardi pendidikan untuk pengembangan karakter (telaah terhadap gagasan Thomas Lichona dalam educating) jurnal al-ulum vol.14 no.1 2014, hlm.269-288
[10] Majid, dkk., Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004) hlm.14
[11] Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq (terjemahan S. H. Tamir), Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, Beirut. 1398 hlm. 56
[12] Ilyas, Y., Kuliah akhlaq, (Yogyakarta: LPPI UMY. 1999) hlm.1
[13] Hariyanto dan Febriana Anjaryanti, Character Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Karakter, jurnal JPII vol.1 no.1 2016 hlm.111-118
[14] Ibid
[15] Al-Jurjawî, SA., Kitâb al-Ta’rîfât, Beirut: (Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyat, 1988)
[16] Muchlas Samani dan Haryanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (PT. Remaja Rosdakarya, 2011) hlm.41
[17] Kementrian Pendidikan Nasional, Pedoman Sekolah Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta, 2010) hlm. 3
[18] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. (Jakarta: Grasindo 2007), hlm.80
[19] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan KrisisMultidi mensial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.36

[20] Doni Koesoema hlm. 90
[21] Sofan Amri, Ahmad Jauhari, & Tatik Elisah, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2011), hlm. 167
[22] Thomas Lickona¸ Mendidik untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012)., hal. 81
[23] Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 42
[24] Tim Pengembang Pendidikan Karakter, Bahan Ajar Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kemendikbud, 2011), hal. 2
[25] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 70

[26] Mutawalia, Penerapan Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Al-MuawanahKecamatan Pajaresuk Pringsewu, (lampung: Universitas Islam Negeri Raden Intan), hlm.23
[27] Ibid.23-24
[28] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Membangun Jatidiri, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), h.11

[29] M. Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter : Membangun Peradaban Bangsa (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010),h.12

[30] Fatma Laili Khoirun Nida Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg Dalam Dinamika Pendidikan Karakter Jurnal Penelitian Pendidikan Islam Vol. 8, No. 2, Agustus 2013 hlm. 271-290

[31] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006)  hal. 8-9
[32] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemah ... hal. 421
[33] Ibid, hal. 960
[34] Jalaluddin Al-Suyuti, Jami’us Shogir (Surabaya: Dar-Al Nasyr Al Mishriyah, 1992) hal. 103
[35] Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemah ... hal. 670
[36] Novan Ardy Wiyani, Konsep, Praktik, dan Strategi Membumikan Pendidikan Karakter di SD (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Cet. I, hal. 32-33
[37] Novan Ardy Wiyani, Konsep, Praktik, dan Strategi... hal. 33
[38] Ibid, hal. 33-34
[39] Ibid, hal. 35

Comments

Popular posts from this blog

Hikmah di Balik COvid-19

Contoh Makalah Bimbingan dan Konseling

PUISI "SANG PENGENDALI"